Rabu, 16 April 2014

STRATEGI PENDIDIKAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Berbicara mengenai belajar dan pembelajaran adalah berbicara tentang sesuatu yang tidak pernah berakhir sejak manusia ada dan berkembang di muka bumi sampai akhir zaman. Belajar adalah proses yang dilakukan dan dialami manusia sejak dari kandungan, buaian hingga sampai ke liang lahat.
Belajar adalah sesuatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai intraksi yang terjadi antara guru dengan anak didik. Interaksi yang berbnilai edukatif dikarenakan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Guru dengan sadar merencanakan kegiatan pembelajaran secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.
Harapan yang tidak pernah sirna adalah guru tuntut adalah bagaimana bahan pelajaran yang disampaikan guru dapat dikuasai oleh anak didik secara tuntas. Ini merupakan masalah yang cukup sulit yang dirasakan oleh guru. Kesulitan itu dikarenakan anak didik bukan hanya sebagai individiu dengan segala keunikannya, tetapi mereka juga sebagai makhluk sosial dengan latar belakang yang berbeda.
Dari fenomena yang telah ada, maka pemakalah akan membahas tentang “Definisi dan Hakekat Kegiatan Pembelajaran” agar kita dapat mengetahui tentang definisi atau pengertian belajar dan pembelajaran agar dapat memahami bagaimana dalam penerapan dan aplikasinya di lapangan.



B.     Batasan Masalah
        Adapun masalah-masalah yang akan kami batasi pada pembahasan makalah ini diantaranya, yaitu :
1.      Pengertian Belajar
2.      Ciri-ciri dan Tujuan belajar
3.      Hakikat Belajar Mengajar
4.      Hakikat Pembelajaran
C.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui definisi belajar
2.    Memahami ciri dan tujuan dari proses belajar
3.    Untuk mengetahui hakikat belajar mengajar
4.    Untuk mengetahui dan memahami hakikat dari pembelajaran




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pembelajaran
1.      Pengertian Belajar
Pengertian belajar telah mengalami perkembangan secara evolusi, sejalan dengan perkembangan cara pandang dan pengelaman para ilmuan. Pengertian belajar dapat didefinisikan sesuai dengan nilai filosofis yang dianut dan pengalaman para ilmuan atau pakar itu sendiri dalam mengajarkan peserta didiknya. Muhammad Ali (1987: 10-11) menyatakan, pengertian belajar maupun yang dirumuskan para ahli antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaaan.[1] Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang pandangan maupun teori yang dipegang.  
Belajar adalah suatu aktifitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki prilaku, sikap dan mengokohkan kepribadian. Dalam konteks menjadi tahu atau proses memperoleh pengetahuan menurut pemahaman sains secara konvensional, kontak manusia dengan alam diistilahkan dengan pengalaman yang terjadi berulang kali melahirkan pengetahuan, (knowledge), atau a body of kwnoledge.[2] Definisi umum dalam pembelajaran sains secara konvensional, dan beranggapan bahwa pengetahuan sudah terserak di alam, tinggal bagaiman siswa atau pembelajar bereksplorasi, menggali dan menemukan kemudian memungutnya, untuk memperoleh pengetahuan.
Setelah lahir teori kognitivisme, definisi pengetahuan atau menjadi tahu semacam ini mengalami perubahan. Oleh karena itu, didalam pengalamannya manusia selalu menghadapi sejumlah fenomena atau fakta alami tertentu, maka pengetahuan pada hakekatnya juga terbangun dari sekumpulan fakta-fakta, a budle of facts. Oleh sebab itu tidak berlebihan jika dalam dunia pendidikan berkembang motto: “pengalaman adalah guru yang paling baik”, experience is the best teacher, alam berkembang menjadi guru. Konsep ini tentunya tidak harus dimaknai seolah-olah belajar sekedar penjejalan pengetahuan kepada siswa, seperti halnya yang dipikirkan dan dipraktikkan oleh mereka yang berparadigma ekstrem bahwa belajar pada hakekatnya tak harus melalui pengajaran atau berfokus kepada guru (teacher centered). Faktanya, tatkala alam berkembang menjadi guru, biasanya manusia belajar dari alam dengan mengamati, melakukan, mencoba serta menyaksikan sesuatu proses, tidak sekedar reseptif dan pasif.

2.      Ciri-ciri dan Tujuan Belajar
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai setiap perubahan tingkah laku yang telatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman. Definisi ini mencakup tiga unsur, yaitu;
1)      Belajar adalah perubahan tingkah laku,
2)      Perubahan tingkah laku tersebut terjadi karena latihan atau pengalaman,
3)      Perubahan tingkah laku tersebut relative permanen atau tetap ada untuk waktu yang cukup lama.
                  Menurut Gagne (1984), belajar adalah sebuah proses yang didalamnya suatu organisme berubah prilakunya sebagai akibat pengalaman.[3] Dari pengertian tersebut terdapat tiga unsur pokok dalam belajar, yaitu:


a.      Proses
          Belajar adalah proses mental dan emosional atau proses berfikir dalam merasakan. Seseorang dikatakan belajar apabila pikiran dan perasaanya aktif . aktivitas pikiran dan perasaan itu tidak dapat diamati oleh orang lain, tetapi dapat dirasakan oleh orang yang bersangkutan. Belajar tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, karena belajar dapat dilakukan siswa dengan berbagai cara dan kegiatan, dengan syarat terjadinya interaksi antar individu dan lingkungan. Misalnya mengamati demonstrasi yang dilakukan oleh guru, siswa dapat mencoba sendiri, mendiskusikan dengan teman, melakukan eksperimen, mengerjakan soal dan sebagainya.
b.      Perubahan Prilaku
Hasil belajar akan tampak  pada perubahan prilaku individu yang belajar. Seseorang yang belajar akan mengalami perubahan prilaku dari akibat atau proses belajarnya. pengetahuan dan keterampilan bertambah, demikian pula penguasaan nilai-nilai dan sikap bertambah pula.
c.       Pengalaman
Belajar terjadi karena individu berinteraksi dengan lingkungan , baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan fisik adalah lingkungan individu, baik dalam bentuk alam sekitar (natural), maupun dalam bentuk hasil ciptaan manusia (kultural). Adapun lingkungan sosial siswa, diantaranya guru, orang tua, pustakawan, pemuka masyarakat, kepala sekolah dan sebagainya.
                  Belajar merupakan  proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental, yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Dari segi guru proses belajar tersebut dapat diamati secara tidak langsung. Artinya proses belajar yang merupakan proses internal siswa tidak dapat diamati, akan tetapi dapat dipahami oleh guru. Proses belajar tersebut tampak melalui prilaku siswa  mempelajari bahan belajar. prilaku belajar tersebut merupakan respon siswa terhadap tindakan mengajar atau tindakan pembelajaran dari guru.[4]
                  Penggolongan atau tingkatan jenis prilaku belajar terdiri dari tiga ranah atau kawasan, yaitu : (a) ranah kognitif, (Bloom, dkk), yang mencakup enam jenis dan tingkatan prilaku, (b) ranah afektif (Krthwohl, Bloom dkk), yang mencakup lima jenis prilaku atau kemampuan psikomotorik. Masing-masing ranah dijelaskan berikut ini:
1.      Ranah Kognitif (Bloom, dkk), terdiri dari enam jenis prilaku;
a.       Pengetahuan, mencakup kemampuan ingatan tentang hal-hal yang telah dipelajari dan tersimpan di dalam ingatan. Pengetahuan tersebut dapat berkenan dengan fakta, pristiwa, pengertian, kaidah teori, prinsip, atau metode.
b.      Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap sari dan makna hal-hal yang dipelajari.
c.       Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode, kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Prilaku ini misalnya tampak dalam kemampuan menggunakan prinsip.
d.      Analisa, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan kedalam bagian-bagian sehingga sruktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.
e.       Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru, misalnya tampak di dalam kemampuan menyusun suatu program kerja.
f.       Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang bebrapa hal berdasarkan criteria tertentu. Sebagai contoh kemampuan menilai hasil karangan.




2.      Ranah Afektif menurut Krathwohl & Bloom dkk, terdiri tujuh jenis prilaku yaitu:
a.       Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang hal tertentu dan kesediaan memperhatikan hal tersebut.
b.      Partisipasi, yang mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan berpartisipasi dalam satuan kegiatan.
c.       Penilaian dan penentuan sikap, yang mencakup penerimaan terhadap suatu nilai, menghargai, mengakui dan menentukan sikap.
d.      Pembentukan pola hidup, yang mencakup kemampuan menghayati niali, dan membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi.
Jadi, dalam proses ini merupakan proses yang dinamis, dimana siswa melakukan keaktifan akan dapat secara terus menerus mengembangkan kemampuan dan kepekaannya untuk mencapai tingkatan-tingkatan kemampuan serta kepakaan yang lebih tinggi melalui proses belajar yang dilakukan.

3.      Ranah Psikomotor (Simpson), terdiri dari tujuh kemampuan atau kemampuan motorik yaitu:
a.       Persepsi, yang mencakup kemampuan memilahkan sesuatu secara khusus. Contoh pemilahan warna, angka (6 dan 9), pemilahan huruf (b dan d).
b.      Kesiapan, yang mencakup kemampuan menempatkan diri dalam suatu keadaan dimanaakan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Misalnya start lomba lari.
c.       Gerakan yang terbimbing, mencakup kemampuan melakukan gerakan tanpa contoh, atau gerakan peniruan. Misalnya meniru geraka tari.
d.      Gerakan terbiasa, mencakup kemampuan melakukan gerakan-gerakan tanpa contoh. Misalnya melakukan lempar peluru, lompat tinggi dsb.
e.       Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan melakukan gerakan atau keterampilan yang terdiri dari banyak tahap secara lancer, efisien dan tepat.misalnya bongkar pasang peralatan secara tepat.
f.       Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup kemempuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang berlaku. Misalnya kemampuan atau keterampilan bertanding dengan lawan tanding.
g.      Kreatifitas, mencakup kemampuan melahirkan pola-pola gerak-gerik yang baru atas prakarsa sendiri. Misalnya kemampuan membujat gerakan senam sendiri.
         Adapun ciri-ciri perubahan dalam pengertian belajar menurut Slameto (1987) meliputi :
1). Perubahan yang terjadi berlangsung secara sadar, sekurang-kurangnya sadar bahwa pengetahuannya bertamba, sikapnya berubah, kecakapannya berkembang, dan lain-lain.
2).    Perubahan dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional.
3).    Perubahan belajar bersifat positif dan aktif.
4).    Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara.
5).    Perubahan belajar bertujuan dan terarah.
        Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku, bukan bagian bagian tertentu secara parsial.[5]

B.     Hakekat belajar mengajar
Belajar yang kita harapkan bukanlah sekedar mendengar, memperoleh atau menyerap informasi yang disampaikan guru. Belajar harus menyentuh siswa secara mendasar. Belajar harus dimaknai sebagai kegiatan pribadi siswa dalam menggunakan potensi pikiran dan nuraninya baik terstruktur maupun tidak terstruktur untuk memperoleh pengetahuan, membangun sikap dan memiliki keterampilan tertentu.[6]

Dengan demikian belajar merupakan proses perubahan prilaku berkat pengalaman dan latihan. Artinya, tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi. Kegiatan belajar mengajar seperti pengorganisasian pengalaman belajar, mengolah kegiatan belajar mengajar, menilai proses, dan hasil belajar, kesemuanya termasuk dalam cakupan tanggung jawab guru. Jadi hakekat belajar adalah perubahan.
Seperti kita ketahui, dewasa ini terjadi perkembangan yang amat cepat dalam berbagai aspek kehidupan, baik di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, pertahanan, komunikasi dan sebagainya yang berdampak pada penddikan dan pembelajaran. Dalam kaitan ini UNESCO sesuai laporannya yang diberi judul Learning: The Tresure Within (1996) menyampaikan adanya sejumlah tantangan kontroversional yang harus dihadapi dengan cara menyeimbangkan berbagai tekanan (tension), yaitu tekanan antara tuntutan global dan lokal, universal dan individual, pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek, tradisional dengan modern, antara tuntutan spiritual dengan kebutuhan material, dan sebagainya.[7]
        Secara ringkas UNESCO memberikan empat pilar belajar:
1.      Learning to know
Belajar untuk mengetahui, (learning to know), berkaitan dengan perolehan, penguasaan  dan pemanfaatan pengetahuan. Belajar untuk mengetahui oleh UNESCO dipahami sebagai cara dan tujuan dari eksistensi manusia. Hal ini sesuai  dengan penegasan Jacques Delors (1996) sebagai komisi ketua komisi penyusunan laporan Learning: The Treasure Within, yang menyatakan adanyya dua manfaat pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai cara, (means) dan pengetahuan sebagai hasil atau tujuan, (end, sebagai catra hidup, terkait keniscayaan bahwa manusia memang wajib memahami dunia disekelilingnya, minimal sesuai dengan pemenuhan kebutuhannya untuk menjadi makhluk yang berkehormatan dan memiliki percaya diri, mengembangkan keterampilan, serta berkomunikasi dengan orang lain.  
2.      Learning to Do
Konsep learning to do ini terkait dengan pernyataan pokok, bagaimana kita mengadaptasikan pendidikan sehingga mampu membekali siswa bekerja untuk mengisi berbagai jenis lowongan pekerjaan di masa depan? Dalam hal ini pendidikan diharapkan mampu menyiapkan siswa berkaitan dengan dua hal. Pertama, berhubungan dengan ekonomi industry, di mana para pekerja memperoleh upah dari pekerjaannya. Kedua, yaitu suatu usaha yang kita kenal sebagai wirausaha, para lulusan sekolah menyiapkan jenis pekerjaannya sendiri dan menggaji dirinya sendiri (self emplopment), dalam semangat entrepreneurship.
3.      Learning to Live Together
Belajar untuk hidup bersama, mengisyaratkan keniscayaan interaksi berbagai kelompok dan golongan dalam kehidupan global yang dirasakan semakin menyempit akibat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.
Agar dapat berinteraksi, berkomunikasi, saling berbagi, bekerja sama dan hidup bersama, saling menghargai dalam kesetaraan, sejak kecil anak-anak sudah harus dilatih, dibiasakan hidup berdampingan bersama, terlebih di negara indonesia yang multikultur.[8]




4.      Learning to Be
Yakni belajar untuk menjadi manusia yang utuh, maka dari itu mengharuskan tujuan pembelajaran yang sedemikian rupa baik rancangan maupun mengimplementasikannya terhadap siswa sehingga dapat mencapai manusia yang utuh.
Manusia yang utuh adalah manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek ketaqwaan terhadap Tuhan, intelektual, emosi, sosial, fisik, maupun moral.

C.    Hakikat Pembelajaran
        Istilah pembelajaran merupakan perkembangan dari istilah pengajaran. Pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh seorang guru atau yang lain untuk membelajarkan siswa yang belajar.[9]
         Secara garis besar, ada 4 pola pembelajaran. Pertama, pola pembelajaran guru dengan siswa tanpa menggunakan alat bantu atau bahan pembelajaran dalam bentuk alat raga. Kedua, pola (guru+alat bantu) dengan siswa, ketiga, pola (guru)+(media) dengan siswa. Keempat, pola media dengan siswa atau pola pembelajaran jarak jauh menggunakan media atau bahan pembelajaran yang disiapkan.
          Berdasarkan pola-pola pembelajaran diatas, maka pembelajaran bukan hanya sekedar mengajar dengan pola satu, akan tetapi lebih dari pada itu seorang guru harus mampu menciptakan proses pembelajaran yang bervariasi.
           Menurut paham konvensional, pembelajaran diartikan sebagai bantuan kepada anak didik yang dibatasi pada aspek intelektual dan keterampilan. Unsur utama dari pembelajaran adalah pengalaman anak sebagai seperangkat event sehingga terjadi proses belajar.[10]
           Sedangkan Aliran behavioristik mengemukakan bahwa pembelajaran adalah usaha guru membentuk tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan lingkungan atau stimulus. Adapun aliran kognitif mendifinisikan pembelajaran sebagai cara guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berfikir agar mengenal dan memahami apa yang sedang dipelajari. Dan humanistik mendeskripsikan pembelajaran adalah memberikan kebebasan kepada si pelajar untuk memilih bahan pelajaran dan cara mempelajarinya sesuai dengan minat dan kemampuannya.[11]       
          Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa   pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan secara berkesinambungan yang melibatkan dua unsur utama yakni guru dan siswa.


[1]Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 5
[2]Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hlm. 9
[3]Wina Sanjaya, 2008. Strategi Pembelajaran; Berorentasi setandar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm. 26
[4] Ainurrahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: CV. Alfabeta, hlm. 48
[5]Prof. Pupuh Fathurrohman, M.Sobry Sutikno, M.Pd. Strategi Belajar Mengajar, Bandung: PT. Refika Aditama, 2011, Hlm. 10, Cet. Ke 5.
[6]Op-Cit,.. Hlm. 142
[7]    Op.Cit,.. Hlm 29

[8]Ibid,.. Hlm . 31-33
[9]Dr. Aan Hasanah, M.Ed, Pengembangan Profesi Keguruan, Pustaka Setia: Bandung, 2012, Hlm. 85
[10]Ibid,.. Hlm. 86
[11]Ibid,.. Hlm. 87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar