Rabu, 16 April 2014
IKHWAN SEJATI
Seorang remaja pria bertanya pada ibunya, ”Ibu, ceritakan padaku tentang ikhwan sejati!”
Sang Ibu tersenyum dan menjawab…
Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar, tetapi dari kasih sayangnya pada orang disekitarnya.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang, tetapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia di hormati di tempat bekerja, tetapi bagaimana dia dihormati di dalam rumah.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan, tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang, tetapi dari hati yang ada dibalik itu.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja, tetapi komitmennya terhadap akhwat yang dicintainya.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan, tetapi dari tabahnya dia mengahdapi lika-liku kehidupan.
Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca Al-Quran, tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca.
Setelah itu, sang remaja pria kembali bertanya. Siapakah yang dapat memenuhi kriteria seperti itu, Ibu ?
Sang Ibu memberinya buku dan berkata…
Pelajari tentang dia. Ia pun mengambil buku itu, MUHAMMAD, judul buku yang tertulis di buku itu.
POSISI ISLAM DI ANTARA AGAMA - AGAMA DI DUNIA
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Posisi
Islam Terhadap Agama-agama yang Datang Sebelumnya
Islam
adalah agama yang terakhir diantara sekalian agama besar di dunia yang semuanya
merupakan kekuatan raksasa yang menggerakkan revolusi dunia, dan mengubah nasib
sekalian bangsa. Selain itu, Islam bukan saja agama yang terakhir, melainkan
agama yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama yang datang
sebelumnya.
Mengenai
posisi Islam terhadap agama-agama yang datang sebelumnya dapat dikemukakan
sebagai berikut, yakni:
Pertama, dapat dilihat dari ciri khas
agama Islam yang paling menonjol, yaitu bahwa Islam menyuruh para pemeluknya
agar beriman dan mempercayai bahwa agama besar di dunia yang datang sebelumnya diturunkan
dan diwahyukan oleh Allah Ta’ala. Salah satu rukun Iman ialah bahwa seseorang
harus beriman kepada sekalian Nabi yang di utus sebelum Nabi Muhammad SAW.
Di dalam
Al-Qur’an dijumpai ayat-ayat yang menyuruh umat Islam mengakui agama-agama yang
diturunkan sebelumnya sebagai bagian dari rukun Iman. Dalam surat Al-Baqarah
ayat 136 dijelaskan yang artinya: “Kami
beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang
diturunkan kepada Ibrahim, Isnail, Ishaq, Ya’qub dan anak-cucunya serta apa
yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada para Nabi
dari Tuhan mereka, dan kami tak membeda-bedakan salah satu di antara mereka.”
Berdasarkan ayat
tersebut terlihat jelas bahwa posisi Islam di antara agama-agama lainnya dari
sudut keyakinan adalah agama yang meyakini dan mempercayai agama yang di bawa
oleh para Rasul sebelumnya. Dengan demikian orang Islam bukan saja beriman
kepada Nabi Muhammad SAW, melainkan beriman pula kepada semua Nabi.
Kedua,
posisi Islam di antara agama-agama di dunia dapat pula dilihat dari ciri khas
agama Islam yang memberinya kedudukan istimewa di antara sekalian agama. Selain
menjadi agama yang terakhir, dan yang meliputi semuanya, Islam adalah
pernyataan kehendak Ilahi yang sempurna. Dalam Al-Qur’an dinyatakan dalam surat
Al-Maidah ayat 3 yang berbunyi “Pada hari
ini Aku sempurnakan untuk kamu agama kamu, dan Aku lengkapkan nikmat-Ku
kepadamu dan Aku pilihkan untuk kamu Islam sebagai agama.”
Sebagaimana
halnya bentuk-bentuk kesadaran yang lain, kesadaran beragama bagi manusia
sedikit demi sedikit dan berangsur-angsur dari abad ke abad mengalami kemajuan.
Demikian pula wahyu tentang Kebenaran agung yang diturunkan dari langit juga
mengalami kemajuan, dan ini mencapai titik kesempurnaan dalam Islam. Kebenaran
agung inilah yang diisyaratkan oleh Yesus dalam sabdanya: Banyak lagi perkara
yang aku hendak katakan kepadamu, tetapi sekarang ini tiada kamu dapat
menanggung dia. Akan tetapi Ia sudah datang, yaitu Roh Kebenaran, maka Ia pun
akan membawamu kepada segala kebenaran.[1]
Ketiga, posisi Islam diantara agama-agama lainnya dapat dilihat dari peran yang dimainkannya.
Dalam hubungan ini agama Islam memiliki tugas besar, yaitu:
1.
Mendatangkan
perdamaian dunia dengan membentuk persaudaraan di antara sekalian agama-agama
di dunia.[2]
2.
Menghimpun
segala kebenaran yang termuat dalam agama yang telah ada sebelumnya.[3]
3.
Memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh para penganut agama sebelumnya yang
kemudian dimasukkan kedalam agamanya itu.[4]
4.
Mengajarkan
kebenaran abadi yang sebelumnya tak pernah diajarkan, berhubung keadaan bangsa
atau umat pada waktu itu masih dalam taraf permulaan dari tingkat perkembangan
mereka, dan yang terakhir adalah memenuhi segala kebutuhan moral dan rohani
bagi umat manusia yang selal bergerak maju.[5]
Keempat,
posisi
Islam di antara agama-agama lain dapat pula dilihat dari adanya unsur pembaruan
didalamnya,. Dengan datangnya Islam, agama memperoleh arti yang baru. Ada dua
hal mengenai hal ini, yaitu:
1.
Agama tak boleh
dianggap sebagai digma yang orang harus menerimanya, jika ia ingin selamat dari
siksaan yang kekal.
2.
Ruang lingkup
agama itu tak terbatas pada kehidupan akhirat saja melainkan juga mencakup kehidupan
dunia. Dengan kehidupan dunia yang baik, manusia dapat mencapai kesadaran akan
adanya kehidupan yang lebih tinggi.
Kelima,
posisi agama terhadap agama-agama lain dapat dilihat dari dua sifat yang
dimiliki ajaran Islam, yaitu akomodatif
dan persuasif. Islam berupaya
mengakomodir ajaran-ajaran agama masa lalu dengan memberikan makna dan semangat
baru didalamnya. Dan Islam terhadap agama lainnya adalah bersikap persuasif,
yaitu dari satu segi Islam melihat adanya hal-hal yang tidak disetujui dan
harus dihilangkan, namun dari segi lain Islam mengupayakan agar proses
menghilangkan tradisi yang demikian itu tidak menimbulkan gejolak sosial yang
merugikan. Proses tersebut dilakukan secara bertahap sambil menjelaskan makna
larangan tersebut yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan intelektual mereka,
hingga akhirnya perbuatan tersebut benar-benar ditinggalkan oleh masyarakat.
Keenam, hubungan Islam
dengan agama lain dapat dilihat pada ajaran moral atau akhlak yang mulia yang
ada didalamnya. Contoh ajaran moral dalam agama yaitu ajaran tentang
pengendalian diri dari memperturutkan hawa nafsu yang berakibat pada terjadinya
tindakan kejahatan. Ajaran tentang pengendalian diri dapat pula dijumpai dalam
ajaran Yahudi yang di bawa oleh Nabi Musa. Dalam agama Yahudi terdapat perintah
Tuhan yang meliputi :
1. Pengakuan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2. Larangan
menyekutukan Tuhan dengan apa saja dan dimana saja
3. Larangan
menyebut nama Tuhan dengan kata-kata yang dapat menyia-nyiakan-Nya
4. Memuliakan
hari pemberhentian Tuhan dan menciptakan yaitu hari Sabbat
5. Menghormati
ayah dan ibu
6. Larangan
membunuh sesama manusia
7. Larangan
berbuat zina
8. Larangan
mencuri
9. Larangan
menjadi saksi palsu, dan
10. Menahan
dorongan hawa nafsu/keinginan untuk memiliki sesuatu yang bukan menjadi
miliknya.
Ajaran
tentang pengendalian hawa nafsu keduniaan (hedonisme) yang diikuti oleh
keharusan melakukan perbuatan yang baik bagi kemanusiaan dalam makhluk lainnya
dapat dijumpai pula dalam ajaran Islam yang bersumberkan pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Al-Qur’an
mengingatkan kepada penganutnya agar jangan memperturutkan hawa nafsu, karena
mereka yang mengikuti hawa nafsunya akan mudah terjerumus kedalam kehidupan
yang menyengsarakan. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-An’am ayat 6 yang
berbunyi : “Katakanlah sesungguhnya aku
dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kamu sembah selain Allah. Katakanlah : ‘Aku
tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat
demikian dan tidaklah pula termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Ajaran
sepuluh firman Tuhan sebagaimana yang terdapat dalam agama Yahudi yang di bawa
oleh Nabi Musa juga dapat dijumpai dalam ajaran Islam sebagaimana termuat dalam
surat Al-Isra’ (17) ayat 23-37, yaitu :
1.
Diperintahkan
agar beribadah hanya kepada Allah semata.
2.
Diperintahkan
agar menghormati kedua orangtua dengan cara mengasihaninya pada saat kedua
orangtua tersebut sudah lanjut usia, merendahkan hati, tidak mengeluarkan kata-kata yang
menyakitinya melainkan dengan ucapan yang mulia dan menyenangkan, serta
senantiasa memanjatkan doa untuk keduanya.
3.
Memberikan
bantuan kepada karib-kerabat, orang miskin dan ibnu sabil.
4.
Dilarang
menghambur-hamburkan harta benda tanpa tujuan (mubadzir).
5.
Dilarang
bersikap bakhil dan tidak pula bersikap boros.
6.
Dilarang
membunuh anak kandung sendiri yang disebabkan karena takut miskin.
7.
Dilarang
membunuh orang lain kecuali ada alasan yang membolehkannya.
8.
Dilarang memakan
harta anak yatim kecuali dengan cara yang dianggap baik dan menyerahkan harta
tersebut kepada mereka menjelang dewasa.
9.
Diperintahkan
agar menyempurnakaan timbangan dan takaran.
10.
Tidak menjadi
saksi palsu, karena pendengaran, penglihatan dan hati sanubari kan dimintakan
pertanggungjawabannya.
11.
Dilarang
bersikap sombong, congkak dan tinggi hati.
Berdasarkan
ayat-ayat tersebut, terlihat dengan jelas bahwa posisi ajaran Islam diantara
agama-agama lain selain mengoreksi dan membenarkan juga melanjutkan sambil
memberikan makna-makna baru dan tambahan-tambahan yang sesuai dengan kebutuhan
zaman.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, terlihat dengan jelas
bahwa posisi Islam di antara agama-agama lain tampak bersifat adil, objektif
dan proporsional. Dengan sifatnya yang adil ajaran Islam mengakui eksistensi
dan peran yang dimainkan agama-agama yang pernah ada di dunia. Sebagai yang
bersifat objektif, ajaran islam memberikan penilaian apa adanya terhadap
agama-agama lain. Agama lain yang membenarkan akan dibenarkan oleh Islam, dan
apabila agama lain menyesatkan maka akan diperbaiki oleh ajaran Islam. Dan
terhadap ajaran agama yang tidak seimbang dalam memberikan perhatian, diberikan
perhatian yang proporsional. Dengan pandangan yang demikian itu, Islam bukanlah
agama yang eksklusif akan tetapi Islam tidak mau berkompromi dan berdialog
dengan agama lain, melainkan agama yang terbuka, rasional, objektif dan
demokratis. Islam adalah untuk orang-orang yang dapat menggunakan pemikirannya.
Dengan sifatnya yang demikian itu, maka Islam telah tampil sebagai penyempurna,
korektor, pembenar dan sekaligus sebagai pembaru.
Posisi
Islam yang demikian itu membawa penganut Islam sebagai umat yang ideal, menjadi
pemersatu dan perekat di antara agama-agama yang ada di dunia.
Namun
demikian, diketahui bahwa di antara agama-agama tersebut terdapat segi-segi
perbedaan yang secara spesifik dimiliki oleh masing-masing. Segi-segi perbedaan
yang spesifik tersebut terdapat pada ajaran yang bersifat teologis-normatif.
Yaitu ajaran yang diyakini benar, tanpa memerlukan dalil-dalil yang harus
memperkuatnya. Ajaran tersebut dianggap sebagai yang ideal dan harus
dilaksanakan. Ajaran-ajaran yang demikian itu berkaitan dengan keyakinan
(teologis) dan ritualistik yakni peribadatan. Terhadap ajaran-ajaran yang
demikian itu, masing-masing agama dianjurkan untuk saling menghargai dan
menghormati.
SELF DISCLOSURE AND SELF ANALYSIS (PENGUNGKAPAN DIRI DAN ANALISI DIRI)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Setiap orang ingin tumbuh,
berkembang, sukses, dan maju. Keinginan yang wajar dan pantas untuk didukung.
Manusia tidaklah hanya sekedar fisik yang membutuhkan makan, minum, pakaian dan
tempat tinggal yang layak. Manusia ada dimensi-dimensi psikis yang juga harus
dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Manusia adalah fisik yang mempunyai pikiran,
perasaan, mata hati, dan emosi. Tidak hanya itu manusia juga mempunyai jati
diri sebagai manusia karena ia bersatu dengan realitas keadaan sekitarnya.
Manusia memerlukan komunikasi dan
interaksi dengan manusia lainnya, dan kebutuhan ini tidaklah dapat dihindarkan.
Dalam hubungan dengan orang lain, ini semua yang ada dalam diri manusia baik
fisik maupun psikis menjadi saling berhubungan, berinteraksi dan berkomunikasi.
Dengan bantuan tubuhnya manusia melambangkan perasaannya, ekspresinya,
keinginannya, emosinya dan pikiran-pikirannya. Oleh karenanya, dalam usaha
mengembangkan diri pun dipengaruhi berbagai faktor baik dari dalam maupun dari
luar manusia itu sendiri.
Kemampuan seseorang untuk mengembangkan
dirinya, mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, berbeda-beda dan seringkali
kendala juga datang dari diri sendiri. Terkadang diri sendiri tidak menyadari
atau tidak memahami potensi yang ada dalam diri sendiri, sehingga tidak mampu
mengembangkan kemampuan atau potensi diri sendiri. Oleh karenanya pemahaman
yang benar terhadap potensi diri sangatlah penting. Tulisan singkat ini akan
mengungkapkan arti dan pentingnya pengembangan diri, strategi pengembangan
diri, manajemen kepribadian, dan menuju kecerdasan emosional.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kesadaran
Kalimat
“kesadaran” berasal dari kata-kata “sadar”. Kata ini kamus besar Bahasa
Indonesia memiliki pengertian insaf, tahu dan mengerti, ingat kembali. Lebih
lanjut kata dasar sadar tersebut dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari
seperti menyadari, menyadarkan dan penyadaran. Semua ungkapan tersebut memiliki
konotasi yang berbeda sesuai dengan perubahan kalimat dasar yang digunakan. Dari makna
sadar, kesadaran, menyadari dan penyadaran maka sadar adalah suatu tujuan yaitu
lahirnya keinsafan, tahu dan mengerti dan ingatan kembali. Kesadaran merupakan
situasi atau hasil dari kegiatan menyadari sedangkan penyadaran merupakan
proses untuk menciptakan suasana sadar. Sadar
diri dimaknai dengan tahu diri. Tahu diri merupakan kondisi dimana seseorang
mengenal hal ihwal diri serta mampu menempatkan diri sesuai dengan
fungsi dan posisi yang tepat. Oleh karena itu orang yang tahu diri adalah orang
yang mampu dan sanggup membawakan diri ditengah-tengaah kehidupan dan tidak
mengalami kesulitan pada penerimaan orang lain akan berbagai kondisi dirinya. Dengan
demikian yang dimaksud dengan penyadaran adalah semua proses dan tindakan yang
dilakukan oleh seseorang dalam mengembalikan atau menciptakan keinsafan,
mengetahui sesuatu, dan mengembalikan ingatan pasien/klien setelah suasana
tersebut dipengaruhi atau hilang oleh faktor penyakit atau karena sebab lain.
B.
Teori dan
konsep kesadaran
Kegiatan
penyadaran untuk menciptakan kesadaran dalam konseling dan terapi dikenal
dengan istilah Eksistensial Humanistik. Teori Esksistensial
Humanistik dipelpori oleh Carl Rogers. Teori ini mengedepankan aspek
kesadaran dan tanggung jawab. Menurut konsep ini manusia memiliki kesanggupan
untuk menyadari dirinya sendiri. Semakin kuat kesadaran diri itu pada
seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang
itu(Gerald Corey, 2007: 54).
Dalam
penerapannya konsep terapi ini ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran—kesanggupan seseorang dalam mengalami hidup secara penuh sebagai
manusia. Pada intinya keberadaan manusia, membukakan kesadaran bahwa :
- Manusia adalah makhluk yang terbatas, dan tidak selamanya mampu mengaktualkan potensi-potensi dirinya
- Manusia memiliki potensi mengambil atau tidak mengambil suatu tindakan
- Manusia memiliki suatu ukuran pilihan tentang tindakan-tindakan yang akan diambil, karena itu manusia menciptakan sebagian dari nasibnya sendiri.
- Manusia pada dasarnya sedirian, tetapi memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain; manusia menyadari bahwa terpisah tetapi juga terkait dengan orang lain.
- Makna adalah sesuatu yang tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan hasil pencarian manusia dan dari penciptaan tujuan manusia yang unik.
- Kecemasan eksistensial adalah bagian hidup esensial sebab dengan meningkatnya kesadaran atas keharusan memilih, maka manusia mengalami peningkatan tanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi tindakan memilih.
- Kecemasan timbul dari penerimaan ketidakpastian masa depan.
8. Manusia
bisa mengalami kondisi-kondis kesepian, ketidakbermak-naan, kekosongan, rasa
berdosa, dan isolasi, sebab kesadaran adalah kesanggupan yang mendorong
kita untuk mengenal kondidi-kondisi tersebut.( Gerald Corey, 2007: 65).
C. Konsep
Kesadaran Menurut Islam
Salah satu cara menumbuhkan
kesadaran dalam persfektif Islam melalui proses Muhasabah. Muhasabah diartikan
sebagai kegiatan mengingat, merenungi, menyadari atau mengevalusai
aktivitas untuk merancang masa depan yang lebih baik.
Hal ini sejalan dengan firman Allah
dalam surat al-Hasyar ayat 18
يَااْيٌهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوااتَّقُواالله
وَلْتَنظُرنَفسٌ مَاقَدَّمَت لِغَد,وَاتَّقُوالله اِنَّ الله خَبِيرٌبِمَاتَعْمَلُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Qs. Al-Hasyar : 18)
Kesadaran diri dalam al-Qur’an
mengandung pengertian menemukan jati diri dengan cara mendidik dan menghidupkan
potensi-potensi fitrah dan internal yang ada pada wujud dirinya dan kemudian
menjiwai (memahami dengan hati) hakikat-hakikat keberadaan dan nama-mana serta
sifat-sifat Ilahi. Jadi, zat atau esensi dan substansi diri manusia terletak
pada kesadaran akan jati dirinya karena kecintaan dan kerinduannya terhadap hal
itu merupakan fitrah dirinya.[1]Dengan
demikian, kesadaran diri memiliki tingkatan dan cabang-cabang yang beragam yang
mana tingkatan sempurnanya itu adalah kesadaran diri irfani (sufistik) yang ia
telah terkait dan menyatu dengan hubungan dan korelasi manusia dengan realitas
serta kesejatian hakikinya yang tidak lain hal itu adalah khalifatullah.[2]
Dalam tulisan ini akan dijelaskan secara global
tentang beberapa hal yang paling penting terkait dengan masalah ini:
- Kesadaran Fitrawi
Hal semacam ini
bukan merupakan sebuah bentuk persfektif dan sebuah pengetahuan yang sifatnya hushuli,
namun merupakan sebuah kesadaran dan sebuah ilmu hudhuri. Kesadaran diri
yang bersifat hudhuri mengandung makna bahwa: saya ada dan saya punya
serta memiliki kesadaran serta pengetahuan terhadap keberadaan dan eksistensi
ini melalui potensi-potensi internal saya. Hal ini merupakan sebuah pengetahuan
dan kesadaran prinsipil dan nyata serta sama persis dengan pribadinya. Pada
pengetahun dan kesadaran ini, manusia memperoleh dan akan meraih sebuah
realitas bernama “saya” dan hal itu sama dengan pengetahuan dan
kesadaran terhadap diri pribadinya.
Tentunya pada
fenomena ini, biasanya tidak bisa langsung sampai pada “saya” itu,
melainkan pertama kekuatan-kekuatan dan aktifitas-aktifitas internal itu
dirasakan dan dipahami terlebih dahulu kemudian “saya” itu
– guna memperoleh serta meraih kesadaran dan pengetahuan yang sifatnya hudhuri
itu – dirasakan dan dipahami
Al-Qur’an
setelah menyinggung hal ini pada tahap penciptaan janin dalam kandungan
(rahim), sebagai tahapan paling akhir –yang sejatinya merupakan tahapan paling
penting dalam proses penciptaan manusia. Al-Qur’an menyatakan: ”Kemudian
Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.”[3]
Hal ini menunjukkan bahwa materi bawah sadar berubah menjadi sebuah
substansi ruh yang sadar. Dengan kata lain, ia telah diberi kehidupan,
kemampuan dan ilmu dan diberinya substansi dzati (jauhar-e dzati) yang
hal ini biasa disebut “saya.”
2.
Kesadaran
Universal
Kesadaran diri
yang bersifat global dan universal memiliki pengertian kesadaran dan
pengetahuan terhadap diri dalam kaitannya dengan alam bahwa: dari mana saya
datang? Saya berada di mana sekarang? Dan nanti saya akan kemana? Pada
kesadaran diri semacam ini, manusia akan menyingkap bahwa dirinya merupakan
salah satu bagian dari “keseluruhan” (kull) yang bernama
alam dunia, ia akan mengetahui bahwa dirinya itu tidak independen dan tidak
mandiri, dirinya itu bergantung, yakni ia ada bukan dengan sendirinya, ia hidup
bukan dengan sendirinya dan akan meninggalkan dunia ini bukan melalui dirinya,
ia hendak memperjelas kondisi dirinya pada “keseluruhan” ini.
Imam Ali suatu waktu pernah menyinggung
bentuk kesadaran semacam ini.
Imam Ali
berkata sebagai berikut: ”Semoga Allah Swt merahmati…orang yang mengetahui
bahwa dirinya datang dari mana? Sedang berada di mana? Dan hendak menuju ke
mana?”
Dalam al-Qur’an
terdapat banyak ayat-ayat tentang mabdâ’ (awal penciptaan) dan ma’âd (akhirat)
manusia yang semuanya mengajak umat manusia untuk menyadari tentang hakikat
hidup di dunia dan di akhirat:
- Kesadaran Irfani (Sufistik)
Kesadaran irfani
adalah sebuah kesadaran terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan Allah
Swt. Hubungan ini adalah sebuah hubungan dua wujud dan eksistensi yang bukan
bersifat sejajar atau horizontal, akan tetapi suatu hubungan antara cabang
dengan pohon, hubungan antara majazi dengan hakikat tunggal (Allah Swt), dan
merupakan sebuah hubungan antara muqayad (tergantung) dan mutlaq (absolut).
Keinginan seorang ‘arif adalah keinginan yang bersifat internal dan
merupakan sebuah kebutuhan fitrah diri.
Berdasarkan
firman Allah Swt dalam al-Qur’an, hal yang bertentangan dan menjadi penghalau
bagi kesadaran diri adalah lupa diri yang mana hal ini merupakan
buah dari lupa Allah Swt. Firman Allah
Swt yang artinya:
ولاتكونواكالذ ين نسواالله فانسهم انفسهم اولئك هم الفسقون
”Dan
janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah
menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang
yang fasik”(Qs.
Al-Hasyr [59]: 19).
Karena ketika
manusia lupa kepada Allah Swt maka asmaul husna (nama-nama indah) dan
sifat-sifat agung Allah Swt yang berkaitan erat serta punya hubungan langsung
dengan sifat-sifat esensial manusia, juga akan dilupakannya. Jika manusia tidak
meniti jalan untuk mengenal dirinya dan ia tidak membina serta menghidupkannya
di dalam dirinya, maka ia akan melupakan Allah Swt dan akan melakukan dosa apa
saja serta akan keluar dari penghambaan dan pengabdian kepada Tuhan.
Kesadaran dalam
Islam merupakan hal yang sangat penting untuk diciptakan. Hal ini disebabkan
kesadaran itu diperlukan untuk mencapai siatuasi kehidupan yang lebih baik.
Inti dari hidup sesungguhnya kesadaran diri, Setiap diri semestinya
menyadari akan eksistensinya sebagai manusia di samping sebagai hamba Allah dan
khalifah di muka bumi. Oleh karena itu semestinya setiap diri memiliki
kesadaran yang tinggi dikaitkan dengan tujuan hidup, tugas hidup, tantangan
hidup, teman hidup, lawan hidup, perbekalan hidup dan berakhirnya kehidupan.
D.
Analisa Diri Melalui Johar Window
Jendela Johari adalah “model yang menjelaskan
tingkat keterbukaan dan tingkat kesadaran tentang diri kita. Model ini penting
dalam komunikasi antarpribadi.”
Johari window adalah jendela dengan empat bagian yang menggambarkan bahwa manusia terdiri atas empat self (diri). Namun Johari berasal dari singkatan nama penemunya, yakni Joseph Luft dan Harry Ingham.
Johari window adalah jendela dengan empat bagian yang menggambarkan bahwa manusia terdiri atas empat self (diri). Namun Johari berasal dari singkatan nama penemunya, yakni Joseph Luft dan Harry Ingham.
1. Open self Dalam
diri kita terdapat daerah terbuka (Open). Open self adalah bagian dari diri
kita yang menyajikan semua informasi, perilaku, sifat, perasaan, keinginan,
motivasi, dan ide yang diketahui oleh diri sendiri dan orang lain. Informasi
yang diketahui oleh diri sendiri dan orang lain ini mencakup antara lain nama
diri, warna kulit, usia, agama, sikap terhadap politik, hobi, dan sebagainya
Menurut Joseph Luft, makin kecil
bagian open self, makin buruk komunikasi berlangsung. Komunikasi
tergantung pada tingkat keterbukaan di mana kita membuka diri kepada orang lain
dan kepada diri kita sendiri. Jika kita tidak mengizinkan orang lain mengetahui
tentang diri kita, komunikasi antara kita dan orang lain tersebut akan
mengalami kesukaran, untuk tidak menyebut tidak mungkin. Untuk meningkatkan
komunikasi antarpribadi dengan orang lain, kita harus memperlebar daerah open
self .
2.Blind self Dalam
diri kita terdapat daerah yang disebut daerah buta (blind). Self adalah
segala hal tentang diri kita yang diketahui orang lain namun tidak diketahui
oleh diri kita sendiri. Karena adanya daerah buta atau blind, akan membuat
komunikasi menjadi tidak efektif, maka kita harus mengusahakan agar daerah ini
jangan terlalu besar dalam diri kita. Menghilangkannya sama sekali adalah tidak
mungkin, namun kita harus berusaha untuk menyusutkannya.
3. Hidden self area Dalam
diri kita terdapat wilayah tersembunyi. Wilayah ini berisi apa – apa yang kita
ketahui dari diri kita sendiri atau dari orang lain yang kita simpan untuk diri
sendiri, yang orang lain tidak mengetahuinya. Misalnya, kita menyimpan sendiri
rahasia kesuksesan kita, ketakutan kita akan sesuatu, masalah keluarga, kondisi
keuangan yang buruk, dan sebagainya.
Dalam menyingkapkan diri kita pada
orang lain yang dikenal dengan konsep self disclosure (pengungkapan
diri), yang memiliki dua ekstrim. Pada suatu ekstrim, kita menceritakan semua
tentang diri kita pada orang lain. Disini berarti daerah hidden self sangat
kecil. Pada ekstrim yang lain, kita sama sekali tidak mencerminkan tentang diri
kita pada orang lain. Orang – orang seperti ini umumnya takut membuka diri,
antara orang lain karena takut ditertawakan dan ditolak. Pada ekstrim ini, daerah hidden
self sangat besar.
4. Unknown
self Dalam
diri kita terdapat wilayah yang tidak dikenal (unknown). Daerah unknown
self adalah aspek dari diri kita yang tidak diketahui baik oleh diri kita
sendiri maupun orang lain. Kita mungkin akan mengetahui aspek dari diri yang
tidak dikenal ini melalui kondisi–kondisi tertentu, misalnya melalui hipnotis.
Walaupun sulit untuk mengetahuinya, kita harus menyadari bahwa aspek ini ada
dalam diri kita.
Pengungkapan
diri atau "self disclosure"
dapat diartikan sebagai pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang
lain. Informasi yang diberikan tersebut dapat mencakup berbagai hal seperti
pengalaman hidup, perasaan, emosi, pendapat, cita-cita, dan lain sebagainya.
Pengungkapan diri haruslah dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan dalam
memberikan informasi, atau dengan kata lain apa yang disampaikan kepada orang
lain hendaklah bukan merupakan suatu topeng pribadi atau kebohongan belaka
sehingga hanya menampilkan sisi yang baik saja.
Meskipun
pengungkapan diri mengandung risiko bagi si pelaku (pemberi informasi) namun
para ahli psikologi menganggap bahwa pengungkapan diri sangatlah penting. Hal
ini dasarkan pada pendapat yang mengatakan bahwa pengungkapan diri (yang
dilakukan secara tepat) merupakan indikasi dari kesehatan mental seseorang.
Penelitian menunjukkan bahwa individu yang mampu mengungkapkan diri secara
tepat terbukti lebih mampu menyesuaikan diri (adaptive), lebih percaya pada
diri sendiri, lebih kompeten, extrovert, dapat diandalkan, lebih mampu bersikap
positif dan percaya terhadap orang lain, lebih obyektif dan terbuka (David
Johnson, 1981; dalam mentalhelp.net).
Manfaat-manfaat dari pengungkapan
diri dapat disebutkan sebagai berikut:
a) Meningkatkan kesadaran diri (self-awareness). Dalam proses pemberian informasi
kepada orang lain, anda akan lebih jelas dalam menilai kebutuhan, perasaan, dan
hal psikologis dalam diri anda.
b) Membangun hubungan yang lebih dekat dan mendalam,
saling membantu dan lebih berarti bagi kedua belah pihak.
c) Mengembangkan keterampilan berkomunikasi yang memungkinkan seseorang untuk
menginformasikan suatu hal kepada orang lain secara jelas dan lengkap tentang
bagaimana ia memandang suatu situasi, bagaimana perasaannya tentang hal
tersebut, apa yang terjadi, dan apa yang diharapkan.
d) Mengurangi rasa malu dan meningkatkan penerimaan
diri (self acceptance).
e) Memecahkan berbagai konflik dan masalah
interpersonal.
Jika orang lain mengetahui kebutuhan anda, ketakutan, rasa frustrasi anda, dan sebagainya.
f) Memperoleh energi tambahan dan menjadi lebih
spontan.
Harap diingat bahwa untuk menyimpan suatu rahasia dibutuhkan energi yang besar
dan dalam kondisi demikian seseorang akan lebih cepat marah, tegang, pendiam
dan tidak riang..
Meskipun self
disclosure mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan itu senditri ada
batasnya. Artinya perlu kita pertimbangkan kembali apakah menceritakan segala
sesuatu tentang diri kita kepada orang lain akan menghasilkan efek positif bagi
hubungan kita dengan orang tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
keterbukaan ekstrim akan memberikan efek negative terhadap hubungan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran merupakan buah
dari proses penyadaran dimana setiap orang dapat dikatakan sadar apabila dia
mampu mengerti, memahami, mengetahui apa yang ada dalam fikiran dan perasaannya
serta apa yang sedang dikerjakannya.
Untuk memelihara tingkat kesadaran dalam ajaran Islam dikenal dengan
istilah muhasabah melakukan perenuingan, perhitungan, kokulasi dan
menginggat apa yang telah, sedang dilakukan untuk menghadapi kehidupan masa
yang akan datang.
B.
Saran
Kami sadar bahwa dalam penulisan makalah ini sangatlah
jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran
kepada dosen maupun pembaca untuk memberikan masukan agar penyusunan makalah ini menjadi lebih
baik.
Langganan:
Postingan (Atom)